Lidik.id, Jakarta — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan rencana penambahan tunjangan perumahan senilai Rp 50 juta per bulan bagi setiap anggota dewan. Rencana tersebut dinilai akan menambah beban anggaran negara di tengah kondisi fiskal yang terbatas.
Peneliti Fitra, Bernard Allvitro, dalam media briefing bertajuk “Anggaran DPR RI: Antara Fungsi Konstitusionalitas dan Kemewahan Personal” pada Minggu (24/8/2025), menilai pendapatan anggota DPR saat ini sudah sangat tinggi. Berdasarkan data daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) DPR 2023–2025, setiap anggota DPR berpotensi memperoleh penghasilan hingga Rp 230 juta per bulan atau sekitar Rp 2,8 miliar per tahun.
“Gaji dan tunjangan anggota DPR jauh melebihi pendapatan rata-rata masyarakat. Penambahan tunjangan perumahan jelas akan semakin membebani anggaran negara,” ujar Bernard.
Fitra mencatat, negara harus mengalokasikan Rp 1,6 triliun pada 2025 untuk membayar gaji dan tunjangan 580 anggota DPR. Angka ini naik dibandingkan dengan 2023 sebesar Rp 1,2 triliun dan 2024 sebesar Rp 1,18 triliun.
Jika dibandingkan dengan upah minimum provinsi, penghasilan anggota DPR mencapai 42 kali lipat dari UMP DKI Jakarta yang sebesar Rp 5,39 juta per bulan. Sementara dibandingkan dengan upah minimum di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang terendah di Indonesia senilai Rp 2,17 juta, pendapatan anggota DPR mencapai 105 kali lipat.
Bernard menilai kebijakan tunjangan tambahan menjadi ironi di tengah rencana pemerintah melakukan efisiensi anggaran dan menambah utang. Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pembiayaan utang Rp 781,9 triliun dengan defisit Rp 638,8 triliun atau 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Keputusan untuk menambah tunjangan akan menegaskan bahwa DPR telah kehilangan kepekaan terhadap kondisi masyarakat,” kata Bernard. Ia juga menyoroti kinerja legislasi DPR yang masih rendah, dengan hanya empat dari 47 rancangan undang-undang yang rampung dibahas tahun ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan tunjangan perumahan muncul dari penghitungan Kementerian Keuangan. Hal itu lantaran anggota DPR saat ini tidak lagi menempati rumah dinas di Kalibata, Jakarta.
“Pertimbangannya juga dengan membandingkan fasilitas lembaga-lembaga lain di Jakarta,” kata Dasco.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun, menambahkan, DPR tidak menentukan sendiri besaran tunjangan. Nilai Rp 50 juta per bulan itu ditetapkan sesuai standar Kemenkeu.
“Banyak anggota DPR berasal dari daerah dan membutuhkan tempat tinggal di Jakarta untuk melaksanakan tugas,” ujarnya.
Discussion about this post