Lidik.id, Jakarta — Cerita dokter sekaligus influencer kesehatan, dr Gia Pratama, mengenai kasus langka yang ia tangani saat berjaga di instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit daerah menyita perhatian publik. Ia mengaku menerima seorang pria yang datang membawa kantong plastik berisi benda yang diyakininya sebagai rahim pasien.
Menurut dr Gia, peristiwa tersebut terjadi setelah seorang ibu menjalani persalinan dengan bantuan dukun beranak. Plasenta diduga ditarik paksa, padahal umumnya organ tersebut dapat keluar dengan sendirinya dalam kurun waktu tertentu usai melahirkan.
Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof Budi Wiweko, menjelaskan bahwa proses pengeluaran plasenta seharusnya berlangsung 15 hingga 30 menit setelah persalinan. Tindakan memaksa atau membiarkan plasenta terlalu lama berada di dalam rahim dapat menyebabkan komplikasi serius.
“Tidak boleh dipaksa, tidak boleh juga dibiarkan,” ujarnya kepada wartawan, Senin (17/11/2025).
Prof Budi menambahkan, jika plasenta sulit keluar, dokter biasanya menerapkan manajemen aktif kala III, termasuk penggunaan obat-obatan untuk memicu kontraksi rahim.
“Setelah plasenta lahir, rahim diharapkan berkontraksi kembali sehingga ukurannya mengecil dan pembuluh darah terjepit untuk mencegah perdarahan,” paparnya.
Meski pada sebagian besar persalinan plasenta dapat keluar secara alami, Prof Budi menegaskan ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat proses tersebut menjadi rumit. Salah satunya plasenta akreta, ketika plasenta melekat terlalu kuat pada dinding rahim, bahkan hingga menembus lapisan otot (inkreta dan perkreta). Pada kondisi seperti ini, pelepasan plasenta memerlukan tindakan manual hingga operasi pengangkatan rahim.
“Ada kasus di mana plasenta menembus lebih dalam sehingga harus dilahirkan dengan pembedahan atau rahimnya harus diangkat,” jelasnya.
Di sisi lain, intervensi yang dilakukan secara tidak tepat dapat menyebabkan komplikasi ekstrem, salah satunya inversio uteri atau rahim terbalik. Kondisi ini terjadi ketika plasenta yang masih menempel ditarik paksa sehingga rahim ikut tertarik keluar melalui vagina.
“Itu kondisi yang sangat berbahaya. Bisa menyebabkan perdarahan hebat, syok, bahkan kematian,” tegas Prof Budi.
Pada kondisi berat, rahim dapat membentuk cincin dan tidak mampu berkontraksi. Dokter harus segera memberikan anestesi dan mengembalikan posisi rahim. Jika reposisi tidak berhasil, tindakan operasi menjadi pilihan terakhir.
Terkait kasus yang diceritakan dr Gia, Prof Budi menekankan bahwa ia tidak dapat memastikan penyebab pasti tanpa melihat kondisi langsung di lapangan. Namun berdasarkan gejala yang disebutkan, ia menilai kemungkinan yang terjadi adalah inversio uteri total atau robekan berat pada dinding rahim.
“Bisa saja itu inversio uteri total, atau robekan dinding rahim yang menyebabkan bagian rahim terlepas dari tempatnya. Tanpa melihat langsung kasusnya, kami tidak bisa memastikan,” ujarnya.
Prof Budi kembali mengingatkan bahwa komplikasi berat saat persalinan dapat dicegah bila proses kelahiran ditangani oleh tenaga kesehatan terlatih serta mengikuti standar manajemen aktif kala III.
“Dengan penanganan yang benar, plasenta dapat lahir tanpa paksaan, risiko perdarahan lebih kecil, dan keselamatan ibu lebih terjamin,” katanya.







Discussion about this post