LIDIK.ID – Pers tak hanya berfungsi sebagai corong informasi, tapi juga sebagai penanda kematangan demokrasi sebuah bangsa. Dalam sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, alur informasi seharusnya tidak sekadar mengalir bebas, tetapi juga terarah, jernih, dan bertanggung jawab.
Kebebasan pers yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang, dibingkai dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Di dalamnya terkandung prinsip dasar: informasi adalah hak publik, namun penyampaian informasi adalah tanggung jawab etik yang tak ringan. Maka, sebuah berita bukan hanya tentang siapa, kapan, dan di mana—tetapi juga tentang mengapa ia muncul dan untuk kepentingan siapa.
Di tengah realitas digital, tantangan semakin besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 79,5%, setara dengan 221 juta jiwa. Secara global, 5,35 miliar pengguna internet kini mewakili hampir 68% populasi dunia. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah gambaran betapa luasnya dampak yang bisa ditimbulkan dari satu informasi yang menyebar tanpa kendali.
Lalu muncul pertanyaan: apakah semua informasi yang beredar benar-benar lahir dari niat memberi kejelasan kepada publik? Atau jangan-jangan, sebagian informasi justru menjadi alat untuk menggiring opini, membangun persepsi, bahkan menyudutkan pihak tertentu dengan narasi yang dibungkus elegan?
Tidak semua yang terlihat “netral” benar-benar bebas kepentingan. Maka, sebagai pembaca yang kritis, publik harus mulai peka:
1. Apakah informasi itu lahir karena urgensi sosial, atau karena pesanan tertentu?
2. Apakah informasi ini disampaikan atas dasar kepentingan publik, atau karena ada target yang ingin dijatuhkan secara halus?
3. Apakah ini benar-benar kebutuhan masyarakat, atau hanya permainan persepsi?
Ketika satu isu lokal bisa digiring menjadi konsumsi massa tanpa verifikasi yang utuh, kita harus waspada. Jangan sampai kita kehilangan kompas berpikir hanya karena terpukau oleh kutipan sumber anonim atau judul yang provokatif. Sensitivitas sosial dan empati atas konteks lokal sering kali dikorbankan demi rating, klik, atau agenda tersembunyi.
Film berjudul “Budi Pekerti” adalah sebuah cerminan betapa dahsyatnya bila sebuah informasi atau narasi yang dibangun tidak utuh atau hanya sebagian terlebih hanya sebuah “Sabotase”
Kita semua memiliki tanggung jawab, baik sebagai penyampai maupun penerima informasi. Sebab di era digital, semua orang bisa menjadi pembuat opini, tetapi tidak semua orang bisa bertanggung jawab atas dampaknya.
Ditulis oleh :
M.Alkautsar S.Kom., MM
(18397-PWI/WDa/DP/XII/2020)
Discussion about this post