Jakarta, Lidik.id – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara kilat merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Perubahan ini memberikan kewenangan baru bagi DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah dipilih, serta memberikan rekomendasi pemberhentian jika diperlukan.
Para pejabat lembaga negara yang masuk dalam cakupan evaluasi ini di antaranya adalah Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA), Panglima TNI, Kapolri, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menjelaskan bahwa revisi ini memberi ruang bagi DPR untuk meninjau kembali kinerja pejabat yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna melalui hasil fit and proper test. Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.
“Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ungkap Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2).
Evaluasi ini dapat berujung pada rekomendasi pemberhentian bagi pejabat negara yang dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal. “Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR,” tambahnya.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai revisi ini sebagai bentuk intervensi keliru terhadap prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurutnya, DPR tidak seharusnya memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat negara yang dihasilkan dari proses fit and proper test.
“Memang tidak ada penyebutan eksplisit soal pencopotan pejabat dalam Pasal 228A. Namun, frase pada Pasal 228A Ayat (2) menyebutkan bahwa hasil evaluasi bersifat mengikat, sehingga bisa berujung pada pencopotan jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pemberhentian seorang pejabat penyelenggara negara,” jelas Hendardi, Rabu (5/2).
Hendardi mengingatkan bahwa supremasi parlemen yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tidak boleh dibiarkan. Ia menilai bahwa DPR sebaiknya lebih fokus pada tugas utamanya, yaitu pembentukan undang-undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yang telah dibuat, serta fungsi budgeting secara lebih berkualitas.
“Bukan malah merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memaksa kepatuhan buta pada parlemen,” tandasnya.
Hendardi pun menegaskan bahwa peraturan DPR yang cacat secara formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan. Jika sudah terlanjur diundangkan, ia menyarankan agar peraturan tersebut bisa diperkarakan ke Mahkamah Agung untuk segera dibatalkan.
Dengan kewenangan baru ini, DPR RI kini memiliki kontrol lebih besar terhadap berbagai lembaga independen, yang berpotensi mengancam prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perdebatan mengenai revisi ini pun diprediksi akan terus berlanjut di ranah hukum dan politik nasional.
Discussion about this post