Jumat, 29 Maret 2024

FH UBL Gelar Seminar Peninjauan Aspek Hukum New Normal

LIDIK.ID , BANDAR LAMPUNG – Fakultas Hukum (FH) Universitas Bandar Lampung (UBL) menggelar seminar “Tinjauan Aspek Hukum Terhadap Relaksasi dan New Normal Dalam Pandemi Covid-19”. Kegiatan ini melalui media virtual ZOOM, Sabtu (13/06/2020).

Seminar kali ini menghadirkan narasumber para dosen ahli FH UBL dari Pusat Studi Hukum Perbankan Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H., Dr. Bambang Hartono S.H., M.H. Pusat Biro Kunsultasi dan Bantuan Hukum UBL dan Dr. I Ketut Seregig, S.H., M.H., dosen FH UBL serta  Indria Wahyuni staf pengajar di Universitas Airlangga yang tengah melanjutkan studi S3 di Hukum di University of Birmingham Inggris.

Baca Lainnya

I Ketut Seregig mengatakan arti New Normal sendiri adalah kita memulai aktivitas dengan cara-cara yang baru yang sesuai dengan keadaan pandemi Covid-19, bukan berarti kita sudah dibebaskan begitu saja untuk beraktivitas seperti sebelumnya.

“Masih banyak yang belum paham benar apa itu New Normal? New Normal disini maksudnya kita kembali beraktivitas namun dengan cara-cara yang baru sesuai dengan keadaan saat ini. Tentunya kebiasaan lama sebelum adanya wabah ini akan mengalami perubahan. Seperti mengenakan masker, mencuci tangan, membawa handsanitizer, dan menjaga jarak dengan orang lain di setiap aktivitas yang kita lakukan. Hal ini juga berlaku untuk pejabat maupun masyarakat lainnya, karena semua memiliki tanggung jawab bersama dalam mencegah penyebaran Covid-19,” ujar Ketut.

Peran Masyarakat.

Tak hanya itu problematika ketaatan hukum yang timbul dalam rangka penerapan New Normal juga perlu diperhatikan. Permasalahan ini dapat muncul karena 2 hal yakni, masyarakatnya yang tidak taat hukum, atau langkah Polri dan Aparat terkait yang dijalankan meliputi tindakan preventif dan persuasive.

“Salah satu masalah hukum yang sering muncul di tengah pandemi Covid-19 ini yakni UU Nomor 11/2008 tentang ITE. Berita-berita bohong mengenai kasus corona yang tujuannya menakut-nakuti masyarakat hingga transaksi elektronik. Orang-orang yang melanggar UU tersebut sesuai dengan pasal-pasal didalamnya akan dikenakan pidana penjara paling lambat 6 (enam) tahun, denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. Bahkan jika pelanggaran dilakukan memenuhi pasal 29 dalam UU tersebut maka pidana penjara paling lama hingga 12 tahun dengan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00,” tambah Ketut dalam seminar.

Sedangkan Indria Wahyuni berbagi informasi mengenai penanganan Covid-19 di Inggris. Ia mengungkapkan parameter yang digunakan Inggris untuk menentukan apakah suatu daerah atau kota tersebut dapat melakukan relaksasi atau new normal.

“Perdana menteri di Inggris menangani 4 negara bagian dalam pandemi Covid-19 ini. Dan untuk menjalankan relaksasi tersebut semua harus mengikuti parameter yang telah ditetapkan. Parameter tersebut diantaranya, melindungi sistem kesehatan dan memastikan bahwa sistem kesehatan mampu memberikan pelayanan yang mumpuni untuk seluruh wilayah. Lalu memastikan jumlah fatality terus menurun signifikan dan telah melewati puncak (peak), memastikan angka R (Rate of Infection) turun kearah yang dapat dikendalikan. Dan memastikan kemampuan testing dan ketersediaan APD, serta memastikan setiap kebijakan tidak akan berdampak pada potensi gelombang kedua penyebaran Covid-19. Itulah beberapa parameter yang ditetapkan oleh pemerintah UK dalam menentukan relaksasi,” pungkas Indria Wahyuni.

Dari beberapa pemaparan yang disampaikan, Ketut Seregig menyampaikan kesimpulan bahwa penegakan hukum memang wajib tetapi yang lebih wajib adalah menaati hukum.(rls)

BeritaTerkait

Discussion about this post