LIDIK.ID, Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung menorehkan kebijakan berani di awal masa jabatannya. Menggantikan Sri Mulyani Indrawati, ia membuka keran likuiditas dengan memindahkan dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara. Minggu, (14/09/2025).
Langkah ini disebut sebagai gaya koboi, yang langsung menyentuh jantung intermediasi. Namun, derasnya likuiditas tidak otomatis menjadi penopang ekonomi jika sektor riil tidak bergerak seiring.
Dalam rapat kerja perdana dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9), Purbaya menyampaikan rencana mengalihkan Rp200 triliun dari total Rp425 triliun kas pemerintah di BI ke lima bank Himbara. Tujuannya, agar biaya dana perbankan menurun dan kredit baru lebih mudah mengalir ke dunia usaha.
“Mesin-mesin ekonomi kita belum bekerja optimal. Dana ini diharapkan jadi bahan bakar agar agen-agen ekonomi dapat bergerak maksimal,” ujar Purbaya.
Meski begitu, para ekonom mengingatkan bahwa likuiditas tidak akan berperan besar jika permintaan agregat tetap lesu. Tanpa permintaan, perusahaan dan rumah tangga enggan berutang. Dana pun berpotensi hanya mengendap di bank.
Karena itu, kebijakan likuiditas perlu dibarengi stimulus sektor riil, mulai dari percepatan program prioritas pemerintah hingga insentif langsung bagi masyarakat. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, dan pembangunan 3 juta rumah diyakini bisa membuka lapangan kerja sekaligus menggerakkan konsumsi.
Pengamat menilai koordinasi erat antara Kementerian Keuangan, BI, dan OJK sangat penting. Garis mandat harus jelas: fiskal mendorong intermediasi, sementara bank sentral menjaga inflasi dan stabilitas rupiah.
Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengingatkan agar dana tidak hanya berhenti di bank Himbara. “Harus diarahkan ke sektor padat karya, bukan jadi pinjaman yang mengendap. Risiko juga harus dijaga,” tegasnya.
Belajar dari pengalaman pandemi COVID-19, likuiditas besar seringkali tidak berdampak nyata ke sektor riil. Kali ini, publik menanti apakah kebijakan era Purbaya benar-benar terasa di warung kelontong, pasar, hingga lowongan kerja baru di pabrik-pabrik.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan diukur bukan dari besar kecilnya angka transfer dana, melainkan dari seberapa nyata ia mampu menumbuhkan pendapatan, kapasitas produksi, dan kesejahteraan rakyat.***
(TRS).
Discussion about this post