LIDIK.ID, Jakarta — Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun sebagai keputusan yang bersifat paradoks dan menimbulkan persoalan konstitusional baru. Jum’at (27/06/2025).
Menurut Khozin, putusan MK tersebut bertolak belakang dengan putusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang justru memberikan enam opsi model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang (UU).
Dalam keterangannya, Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah bertindak di luar kewenangannya dengan memutuskan model keserentakan pemilu. Ia menilai MK tidak konsisten dengan putusan sebelumnya.
“Putusan 55 cukup jelas. MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari bahwa urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” tegas Khozin dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (28/6/2025).
Ia menegaskan bahwa domain penentuan model keserentakan pemilu semestinya tetap berada di tangan pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden, bukan ditentukan secara sepihak oleh lembaga yudisial.
“UU Pemilu belum diubah pasca Putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR,” ujarnya.
Khozin menyayangkan keputusan MK yang dianggap tidak konsisten dan hanya melihat persoalan dari satu sudut pandang semata. Ia menilai keputusan ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap konstitusionalitas lembaga pembentuk UU, teknis pelaksanaan pemilu, hingga legitimasi penyelenggaraannya.
“Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” tambahnya.
Meski demikian, ia memastikan bahwa DPR akan menjadikan putusan terbaru MK ini sebagai bahan penting dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu yang telah diagendakan.
“Dalam Putusan MK sebelumnya, badan pembentuk UU diminta untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU Pemilu. Ini akan kami jadikan perhatian utama,” kata Khozin.
Sebelumnya, MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan memutuskan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah diselenggarakan secara terpisah, dengan jeda waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan DPD. Sementara itu, pemilu daerah mencakup pemilihan kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.***
(TRS).
Discussion about this post